Jumat, 09 Oktober 2015
Minggu, 27 September 2015
Senin, 14 September 2015
Sabtu, 05 September 2015
FAIR IS GOD
Tuhan itu memang begituIa adilKarena yang sempurna secara fisik,Belum tentu membahagiakan
Rabu, 02 September 2015
LAUT
Seperti tatapan laut kepada langit, tak pernah berpaling.
Seperti perasaan sukaku padamu, tak pernah surut.
Detik menghidupkan problema
Yang menjelma menjadi ombak di lautan.
Sifatnya sang ombak,
Ia selalu ada.
Jikalau ombak menghadang tinggi,
Semua tau,
Tak lama pun ia merendah.
Semua tau,
Ombak takan menyentuh langit setinggi apapun ia berkelakar.
Semua tau,
Ombak takan mampu melawan gravitasi lalu ia melukai sang langit.
Lalu bagaimana dengan sang laut,
Yang selalu tercakar oleh ombaknya sendiri?
Seperti perasaan sukaku padamu, tak pernah surut.
Detik menghidupkan problema
Yang menjelma menjadi ombak di lautan.
Sifatnya sang ombak,
Ia selalu ada.
Jikalau ombak menghadang tinggi,
Semua tau,
Tak lama pun ia merendah.
Semua tau,
Ombak takan menyentuh langit setinggi apapun ia berkelakar.
Semua tau,
Ombak takan mampu melawan gravitasi lalu ia melukai sang langit.
Lalu bagaimana dengan sang laut,
Yang selalu tercakar oleh ombaknya sendiri?
Selasa, 01 September 2015
Harapku
Aku adalah akuYang menyandingkanmu dengan lumur hitam bertajuk dosa tak terlihatMeminta padaNya ikatan suci yang nyataAku dengan segala kenaifankuMeminta kita agar bisa menjadi pilihan di sisiNya
Senin, 31 Agustus 2015
Senin, 17 Agustus 2015
Kamis, 13 Agustus 2015
Jumat, 07 Agustus 2015
Bodohnya Mereka
Bodohnya mereka,
Yang meninggalkan orang yang mereka kasihi hanya karna amarah
Yang meninggalkan orang yang mereka percaya belahan jiwanya hanya karna cemburu
Yang meninggalkan orang yang mereka miliki hanya karna berpikir mereka tak pantas lagi
Aku tak mau seperti mereka
Tapi sayangnya,
Terkadang aku bertindak bodoh
Yang meninggalkan orang yang mereka kasihi hanya karna amarah
Yang meninggalkan orang yang mereka percaya belahan jiwanya hanya karna cemburu
Yang meninggalkan orang yang mereka miliki hanya karna berpikir mereka tak pantas lagi
Aku tak mau seperti mereka
Tapi sayangnya,
Terkadang aku bertindak bodoh
Sabtu, 01 Agustus 2015
Ikhlas
Kehancuranmu, membuatmu terpaksa belajar bagaimana mengutuhkan.
Mengutuhkan, membuatmu terpaksa belajar apa itu menjaga.
Menjaga, membuat terpaksa belajar apa itu ikhlas.
Mengutuhkan, membuatmu terpaksa belajar apa itu menjaga.
Menjaga, membuat terpaksa belajar apa itu ikhlas.
Rabu, 27 Mei 2015
Kehidupanmu, Apa Yang Ada Dalam Pikiranmu
Salahnya, aku pernah berpikir.
Kenapa kisahku begini saja?
Tak lama kemudian,
Kesulitan ini menjadi.
Rasa kalut bergumung.
Dia bergema.
Detakan jantung berjatuhan.
Membentuk ritme dipercepat.
Otakku kabur.
Tetapi bersusah payah membentuk fokus.
Sebenarnya,
Apa yang aku nantikan?
Apa yang diharapkan?
Kan ku jadikan apa,
Setelah ku dapatkan?
Dalam gaduhnya keheningan,
Membuatku teringat ratapanku dulu.
Kenapa kisahku begini saja?
Salahkah pertanyaan kecil itu?
Jika aku dalam tokoh utama,
Dalam film fiksi bodohmu itu,
Tentu aku mengharapkan ini.
Akan semakin baik jika konflik semakin banyak.
Semakin besar konfliknya,
Semakin menghibur filmnya.
Lalu, emosiku berbenturan hambatan yang akan ku hadapi.
Aku tak mau hidupku terhambat.
Aku pun tak mau hidupku datar.
Apalagi kematian yang terkomposisi,
Dari kehidupan yang datar dan menghambat.
Aku berlari menempuh jalanku.
Membakar masalahku dan masa laluku.
Jejak kakiku sengaja aku pahat.
Biar suatu saat akan ku lihat.
Lalu pertanyaan itu menembus lagi,
Kenapa kisah hidupku begini?
Tanpa saja.
Tanpa satu kata 'saja' yang bodoh itu.
Langkah kakiku memelan.
Nafas tersenggal setelah aku bertarung sendiri.
Sendirian dengan konflik yang tak nyata itu.
Konflik pikiranku.
Memerangi diri sendiri yang takan kunjung usai.
Lalu aku membakar obor itu.
Obor yang mungkin terbuat dari kesadaran.
Cahaya api yang terbuat dari letih menjelaskan kegelapan tadi.
Aku berdiri tegak dan terperangah.
Ternyata,
Inilah hidupku.
Dia menungguku,
Untuk tahu dan menerima.
Menerima.
Kenapa kisahku begini saja?
Tak lama kemudian,
Kesulitan ini menjadi.
Rasa kalut bergumung.
Dia bergema.
Detakan jantung berjatuhan.
Membentuk ritme dipercepat.
Otakku kabur.
Tetapi bersusah payah membentuk fokus.
Sebenarnya,
Apa yang aku nantikan?
Apa yang diharapkan?
Kan ku jadikan apa,
Setelah ku dapatkan?
Dalam gaduhnya keheningan,
Membuatku teringat ratapanku dulu.
Kenapa kisahku begini saja?
Salahkah pertanyaan kecil itu?
Jika aku dalam tokoh utama,
Dalam film fiksi bodohmu itu,
Tentu aku mengharapkan ini.
Akan semakin baik jika konflik semakin banyak.
Semakin besar konfliknya,
Semakin menghibur filmnya.
Lalu, emosiku berbenturan hambatan yang akan ku hadapi.
Aku tak mau hidupku terhambat.
Aku pun tak mau hidupku datar.
Apalagi kematian yang terkomposisi,
Dari kehidupan yang datar dan menghambat.
Aku berlari menempuh jalanku.
Membakar masalahku dan masa laluku.
Jejak kakiku sengaja aku pahat.
Biar suatu saat akan ku lihat.
Lalu pertanyaan itu menembus lagi,
Kenapa kisah hidupku begini?
Tanpa saja.
Tanpa satu kata 'saja' yang bodoh itu.
Langkah kakiku memelan.
Nafas tersenggal setelah aku bertarung sendiri.
Sendirian dengan konflik yang tak nyata itu.
Konflik pikiranku.
Memerangi diri sendiri yang takan kunjung usai.
Lalu aku membakar obor itu.
Obor yang mungkin terbuat dari kesadaran.
Cahaya api yang terbuat dari letih menjelaskan kegelapan tadi.
Aku berdiri tegak dan terperangah.
Ternyata,
Inilah hidupku.
Dia menungguku,
Untuk tahu dan menerima.
Menerima.
Jumat, 22 Mei 2015
Keegoisan Tulisanku
Aku menulis karena rasa dan asa
Egoisnya,
Aku tak peduli apakah ritmenya sama
Pesannya sampai
Seberapa dalam puitisnya
Dan tipikal para pembacanya
Aku menulis rasaku
Bahkan terkadang itu palsu
Atau bisa bahwa itu faktaku
Yang seringkali dicap dengan ambigu
Seegoisnya sampai aku menulis hanya untuk pemahaman
Seegoisnya sampai aku rasa tulisan ini bahkan takkan kalian pahami
Dan aku takkan bertanya
Dari
Egoisnya,
Aku tak peduli apakah ritmenya sama
Pesannya sampai
Seberapa dalam puitisnya
Dan tipikal para pembacanya
Aku menulis rasaku
Bahkan terkadang itu palsu
Atau bisa bahwa itu faktaku
Yang seringkali dicap dengan ambigu
Seegoisnya sampai aku menulis hanya untuk pemahaman
Seegoisnya sampai aku rasa tulisan ini bahkan takkan kalian pahami
Dan aku takkan bertanya
Dari
Selasa, 12 Mei 2015
Aku dan Egoku
Aku akan meninggal bersama egoku
Dengan ia yang pernah meledak-ledak
Yang pernah mengalahkanku
Walau tanpa wujudnya
Bagaimana rasanya
Jika pikiran dan hatimu berkata lain?
Dalam pikiranmu, kau segalanya
Sementara hatimu mengetahui bahwa kau begitu kerdil
Mereka bertengkar satu sama lain
Yang hanya kau sadari betapa gaduhnya pertengkaran ini
Lalu kau hanya menatap kosong apa yang di depanmu
Bagaimana menjatuhkan hal yang tak berwujud itu
Dengan ia yang pernah meledak-ledak
Yang pernah mengalahkanku
Walau tanpa wujudnya
Bagaimana rasanya
Jika pikiran dan hatimu berkata lain?
Dalam pikiranmu, kau segalanya
Sementara hatimu mengetahui bahwa kau begitu kerdil
Mereka bertengkar satu sama lain
Yang hanya kau sadari betapa gaduhnya pertengkaran ini
Lalu kau hanya menatap kosong apa yang di depanmu
Bagaimana menjatuhkan hal yang tak berwujud itu
Minggu, 26 April 2015
Hal Kecil yang Gugur
Banyak hal yang menggugurkan sesuatu tanpa kita tau. Banyak hal yang sudah mengajarkan pada kita, tapi kita tak paham. Menyadari adalah langkah awal sebelum memahami. Lalu bagaimana impresinya jika kita tak menyadari hal apa yang menggugurkan sesuatu itu. Kebencian itu tumbuh. Seperti tanaman sulur yang seakan berputar takan ada habisnya. Kebencian tentang keguguran hal yang tak kita tau. Sebagian dari kita tak menerapkan apa yang kita pelajari, bukan kita tak belajar. Karena kita merasa belum saatnya, sampai hal-hal kecil itu meranggas layaknya pohon jati. Jika dedaunan itu hal-hal kecil, dia mengering sampai akhirnya terkesan rapuh. Saat diinjak, orang lain menikmati betapa ringannya suara daun kering itu. Daun yang gugur itu takan bisa kembali pada pohonnya. Pohon hanya harus merelakan dengan sempurna saat hal itu berlalu. Dia hanya bisa menumbuhkan lagi daun di lain waktu. Ini bukan pelajaran biologi tentang pohon jati, ini tentang bagaimana alam merefleksikan sesuatu sesuai dengan kehidupan. Lalu malunya, kita benci saat mengetahui hal itu tak seperti dulu. Bahwa daun itu meranggas karena kebencian. Atau karena ia lelah bertengger disana. Mungkin ada badai yang mematahkan kaki-kaki mungil dedaunan itu. Entah hanya tupai kecil yang berlari-lari riang dan tanpa sengaja menggugurkannya. Betapa sarkasnya dunia jika daun meluruh karena kesenangan sang tupai kecil. Dan sebagian mengharapkan hal itu tak terjadi. Gugur satu itu gal kecil, tapi menjadi besar saat kita tak tau sejak kapan hal gugur itu terjadi dan kita tak menghentikannya.
Kamis, 23 April 2015
Apapun terkadang
Apapun
Apa yang kita dapat
Takan selalu seperti yang kita mau
Apa yang kita dapati kini
Takan sama lagi nanti
Kekasih yang berubah
Karang yang tertabrak ombak
Angin yang terhalang pepohonan
Atau rumput yang menjadi tandus
Berharap takan berubah itu
Sama seperti mengharap bodohnya perubahan itu sendiri
Kapan gurun bisa subur
Kapan kutub bisa panas
Mainan yang kita mau
Takan semenyenangkan imaji
Khayalan berangsur gugur
Angan pun terkunci
Kadang waktu mendinginkan semuanya
Kadang jarak mematikan perasaannya
Kadang tegar merobohkan dindingnya
Dan sejuta kadang-kadang lainnya
Apa yang kita dapat
Takan selalu seperti yang kita mau
Apa yang kita dapati kini
Takan sama lagi nanti
Kekasih yang berubah
Karang yang tertabrak ombak
Angin yang terhalang pepohonan
Atau rumput yang menjadi tandus
Berharap takan berubah itu
Sama seperti mengharap bodohnya perubahan itu sendiri
Kapan gurun bisa subur
Kapan kutub bisa panas
Mainan yang kita mau
Takan semenyenangkan imaji
Khayalan berangsur gugur
Angan pun terkunci
Kadang waktu mendinginkan semuanya
Kadang jarak mematikan perasaannya
Kadang tegar merobohkan dindingnya
Dan sejuta kadang-kadang lainnya
Selasa, 21 April 2015
Aku Sombong
Aku punya rasa sombong yang tak ada bentuknya
Yang harusnya ku hembuskan
Atau aku tiup dengan cepat
Agar angan tentang bentuk itu hilang
Aku kesal ketika aku sombong
Aku merasa lebih hebat
Aku merasa bisa segalanya
Tapi apa?
Ampun dong
Melakukan hal pun tersendat
Dan dengan setengah daya
Aku kesal
Bukan karena pada sombongku
Tapi aku kesal,
Karena aku tau
Aku tak bisa melebihi siapa dia
Tapi egoku,
Lihat, kini dia sudah mengangkasa
Yang harusnya ku hembuskan
Atau aku tiup dengan cepat
Agar angan tentang bentuk itu hilang
Aku kesal ketika aku sombong
Aku merasa lebih hebat
Aku merasa bisa segalanya
Tapi apa?
Ampun dong
Melakukan hal pun tersendat
Dan dengan setengah daya
Aku kesal
Bukan karena pada sombongku
Tapi aku kesal,
Karena aku tau
Aku tak bisa melebihi siapa dia
Tapi egoku,
Lihat, kini dia sudah mengangkasa
Rabu, 15 April 2015
Ini Hidupku
Kalau ada yang suka sama aku,
Toh urusan mereka.
Kalau ada yang gak suka sama aku,
Ya jangan dekat-dekat.
Kalau suka aku tapi kau tau aku begini,
Ya terima saja.
Hidupku tak mau terlalu rumit,
Apalagi karena pendapat kecilmu itu.
Hidupku sudah kacau.
Jangan kau kacaukan lagi.
Toh urusan mereka.
Kalau ada yang gak suka sama aku,
Ya jangan dekat-dekat.
Kalau suka aku tapi kau tau aku begini,
Ya terima saja.
Hidupku tak mau terlalu rumit,
Apalagi karena pendapat kecilmu itu.
Hidupku sudah kacau.
Jangan kau kacaukan lagi.
Rasa Dekat Itu Ilusi
Rasa dekat itu ilusi
Kadang orang yang sudah pergi
Kemanapun denganmu
Berbicara penuh sehari-semalam denganmu
Menceritakan masa lalu atau sekarang denganmu
Melepas lelah bersama denganmu
Kamu tak merasa bahwa kamu dekat dengannya
Begitu pula dengannya
Rasa dekat itu ilusi
Dia bukan orang yang kamu kenal di saat itu
Dia bukan orang yang paling sabar
Dia yang paling sering menimbulkan marah
Dia yang paling sering merepotkan
Tapi kamu merasakan hangat ilusi itu
Rasa dekat itu ilusi
Jika dipikirkan kembali
Sedikit janggal
Saat dinikmati lagi
Rasanya tertinggal
*diposting saat bingung mencari ide tentang cinta berdurasi 2 menit tetapi kompleks*
Kadang orang yang sudah pergi
Kemanapun denganmu
Berbicara penuh sehari-semalam denganmu
Menceritakan masa lalu atau sekarang denganmu
Melepas lelah bersama denganmu
Kamu tak merasa bahwa kamu dekat dengannya
Begitu pula dengannya
Rasa dekat itu ilusi
Dia bukan orang yang kamu kenal di saat itu
Dia bukan orang yang paling sabar
Dia yang paling sering menimbulkan marah
Dia yang paling sering merepotkan
Tapi kamu merasakan hangat ilusi itu
Rasa dekat itu ilusi
Jika dipikirkan kembali
Sedikit janggal
Saat dinikmati lagi
Rasanya tertinggal
*diposting saat bingung mencari ide tentang cinta berdurasi 2 menit tetapi kompleks*
Minggu, 29 Maret 2015
For Our Country
To all my Indonesian brothers and sisters;
If you can read this article in English and understand it without any problem, chances are you’ve got a good education, good enough to communicate in a foreign language, or you’re open-minded, open-minded enough to know that being able to speak English doesn’t make you less patriotic.
In fact, this whole article is about patriotism. Yes, Indonesia. I’m looking at you. Sharply. And the smart people of Indonesia, you too. I want to say this: We failed our country, didn’t we?
My husband and I just came back from Indonesia a couple days ago. I was pretty hopeful to see the new Indonesia, since we have our new president and a new set of parliaments. But Indonesia is the same, even backward. I know there are many people, just like me, put their hopes up along with the new Jokowi administration. I also understand change doesn’t happen over night. But looking at the situation in my country, I wondered if change ever going to happen. Nothing’s wrong with the new elected President. He’s a man of integrity and very down-to-earth. But putting him in a society who refused to change is like putting world’s best driver in a broken car: it doesn’t matter. It’s not going to work.
I feel so saddened. I feel frustrated. Our society, our people, my people, your people, we don’t understand even the very basic rules: You put the trash in a trashcan. If you can’t find a trashcan, it’s not going to hurt you to carry your trash until you find one. You follow the way the traffic goes, you don’t drive your motorbike in the opposite direction when everyone goes one way. You don’t drive your motorbike at the sidewalk – that’s not for motorbikes, but I’m sure it’s very hard to understand. It’s rocket science. And if you got killed in an accident as a result of your moronic act, at least we finally come to understand that stupidity literally kills. Although in some place there is no written rule, you don’t smoke in a public restaurant or in a public space: there are babies, kids, and pregnant women there. Walking a little bit further from a public space to smoke is better than having everyone inhales your selfishness. You form a line by going to the back of a person in front of you or if you happen to be the first person there, stand in the line behind the counter. No, you don’t form a line by standing on the left or right of the first person, that will only create anger since it’s never clear who gets there earlier than who. And no, being an hour late is not funny anymore. It’s pathetic.
I see too many Indonesians don’t understand (or understand but refuse to do) those basic rules, and yet we dream of a new Indonesia: a free-corruption country. Tell me how do we stop corruption at a national level when we can’t even stop ourselves from smoking in front of kids? How do we stop corruption when we can’t even stop throwing trash out the street from the windows of our expensive cars? How do we stop corruption when we can’t even stop people who drive the opposite way? There is a reason why Indonesia is called a developing country: because our character is still being developed. We can put someone as honest as Mahatma Gandhi to be the president of Indonesia, but if we keep our character the way it is right now, not even Gandhi can make a change. Indonesia, I say this out of love. Let’s not fool ourselves. We’re a broken car.
We boast ourselves as a religious country, a country that believe in God and acknowledge the existence of different religions. We’re really committed in doing our religions rules: if you’re Islam, you’d be busy praying 5 times a day and suggesting the usage of hijab to the females. If you’re Christian, you’d be busy deciding which fancy church you can go to and check-in on Facebook, and even busier deciding which music the church should have on. Now tell me, if our religion is so great, why doesn’t it reflect in the country’s condition? If we pray to God as hard as 5 times a day, why the kindness of the God we worship does not illuminate the country? What do we do wrong here, my Indonesia? How do we go wrong?
I remember a tweet written by Rizki Ridyasmara, the author of The Jacatra Secret. He tweeted, “Indonesia needs a dictator who means well for the country.” If we can’t go soft anymore, let’s go hard. Let’s put on ourselves a punishment, a fine, or a jail time if we break the rules. Let’s say it’s wrong when it’s wrong and it’s right when it’s right. Justice should serve any religion at any status. For a sensitive example, if a Batak Christian got caught stealing, I, myself, as a Batak Christian should say it is wrong.
We say we refuse any kind of western influence because it’s not aligned with our values. I tell you what. People in the western side of the world, they don’t need a rule to line up. They don’t need a punishment so that they would throw their trash in a trashcan. And they don’t smoke in public, with or without a sign telling them to do so. As much as you hate to hear this, maybe, just maybe, we do need western influence. If their society understands the basic rules as if it is installed in them, maybe, just maybe, there are one or two values we can learn from.
And if you still understand the content of this article up to this point, my friend, it has been our responsibility to educate the country. So far we fail. But as long as there’s still tomorrow, there is still hope, and I’ll keep trying through the articles that I write here or at IndonesiaMengglobal.com. Take your part. Education is one way to help our people from this mentality for education is the most powerful weapon to change ourselves, the most powerful weapon to change your family, the most powerful weapon to change the society, the most powerful weapon to change Indonesia.
Copas dari Line Gilang
If you can read this article in English and understand it without any problem, chances are you’ve got a good education, good enough to communicate in a foreign language, or you’re open-minded, open-minded enough to know that being able to speak English doesn’t make you less patriotic.
In fact, this whole article is about patriotism. Yes, Indonesia. I’m looking at you. Sharply. And the smart people of Indonesia, you too. I want to say this: We failed our country, didn’t we?
My husband and I just came back from Indonesia a couple days ago. I was pretty hopeful to see the new Indonesia, since we have our new president and a new set of parliaments. But Indonesia is the same, even backward. I know there are many people, just like me, put their hopes up along with the new Jokowi administration. I also understand change doesn’t happen over night. But looking at the situation in my country, I wondered if change ever going to happen. Nothing’s wrong with the new elected President. He’s a man of integrity and very down-to-earth. But putting him in a society who refused to change is like putting world’s best driver in a broken car: it doesn’t matter. It’s not going to work.
I feel so saddened. I feel frustrated. Our society, our people, my people, your people, we don’t understand even the very basic rules: You put the trash in a trashcan. If you can’t find a trashcan, it’s not going to hurt you to carry your trash until you find one. You follow the way the traffic goes, you don’t drive your motorbike in the opposite direction when everyone goes one way. You don’t drive your motorbike at the sidewalk – that’s not for motorbikes, but I’m sure it’s very hard to understand. It’s rocket science. And if you got killed in an accident as a result of your moronic act, at least we finally come to understand that stupidity literally kills. Although in some place there is no written rule, you don’t smoke in a public restaurant or in a public space: there are babies, kids, and pregnant women there. Walking a little bit further from a public space to smoke is better than having everyone inhales your selfishness. You form a line by going to the back of a person in front of you or if you happen to be the first person there, stand in the line behind the counter. No, you don’t form a line by standing on the left or right of the first person, that will only create anger since it’s never clear who gets there earlier than who. And no, being an hour late is not funny anymore. It’s pathetic.
I see too many Indonesians don’t understand (or understand but refuse to do) those basic rules, and yet we dream of a new Indonesia: a free-corruption country. Tell me how do we stop corruption at a national level when we can’t even stop ourselves from smoking in front of kids? How do we stop corruption when we can’t even stop throwing trash out the street from the windows of our expensive cars? How do we stop corruption when we can’t even stop people who drive the opposite way? There is a reason why Indonesia is called a developing country: because our character is still being developed. We can put someone as honest as Mahatma Gandhi to be the president of Indonesia, but if we keep our character the way it is right now, not even Gandhi can make a change. Indonesia, I say this out of love. Let’s not fool ourselves. We’re a broken car.
We boast ourselves as a religious country, a country that believe in God and acknowledge the existence of different religions. We’re really committed in doing our religions rules: if you’re Islam, you’d be busy praying 5 times a day and suggesting the usage of hijab to the females. If you’re Christian, you’d be busy deciding which fancy church you can go to and check-in on Facebook, and even busier deciding which music the church should have on. Now tell me, if our religion is so great, why doesn’t it reflect in the country’s condition? If we pray to God as hard as 5 times a day, why the kindness of the God we worship does not illuminate the country? What do we do wrong here, my Indonesia? How do we go wrong?
I remember a tweet written by Rizki Ridyasmara, the author of The Jacatra Secret. He tweeted, “Indonesia needs a dictator who means well for the country.” If we can’t go soft anymore, let’s go hard. Let’s put on ourselves a punishment, a fine, or a jail time if we break the rules. Let’s say it’s wrong when it’s wrong and it’s right when it’s right. Justice should serve any religion at any status. For a sensitive example, if a Batak Christian got caught stealing, I, myself, as a Batak Christian should say it is wrong.
We say we refuse any kind of western influence because it’s not aligned with our values. I tell you what. People in the western side of the world, they don’t need a rule to line up. They don’t need a punishment so that they would throw their trash in a trashcan. And they don’t smoke in public, with or without a sign telling them to do so. As much as you hate to hear this, maybe, just maybe, we do need western influence. If their society understands the basic rules as if it is installed in them, maybe, just maybe, there are one or two values we can learn from.
And if you still understand the content of this article up to this point, my friend, it has been our responsibility to educate the country. So far we fail. But as long as there’s still tomorrow, there is still hope, and I’ll keep trying through the articles that I write here or at IndonesiaMengglobal.com. Take your part. Education is one way to help our people from this mentality for education is the most powerful weapon to change ourselves, the most powerful weapon to change your family, the most powerful weapon to change the society, the most powerful weapon to change Indonesia.
Copas dari Line Gilang
Rabu, 25 Maret 2015
Gelap
Lalu ada apa dengan gelap?
Yang memberikan nama malam
Menyingkirkan mentari
Dan menarik rembulan
Membius rasa kesepianmu
Titik titik rindu
Dalam setiap aliran darahmu
Lalu ada apa dengan malam?
Yang membiarkanmu merasa sendiri
Merasa kecil bagai kurcaci
Dengan kesedihan sunyi
Menunjuk hati yang ingin bernyanyi
Lagi
Lalu ada apa dengan sendiri?
Kau selalu ingin kabur darinya
Aku, begitu pula
Kali ini,
Mengapa ia begitu salah?
Sampai kita tak mau mengalah
Kita memojokkan resah
Selalu ingin menghapus gelisah
Lalu apa yang salah dengan kita?
Yang memberikan nama malam
Menyingkirkan mentari
Dan menarik rembulan
Membius rasa kesepianmu
Titik titik rindu
Dalam setiap aliran darahmu
Lalu ada apa dengan malam?
Yang membiarkanmu merasa sendiri
Merasa kecil bagai kurcaci
Dengan kesedihan sunyi
Menunjuk hati yang ingin bernyanyi
Lagi
Lalu ada apa dengan sendiri?
Kau selalu ingin kabur darinya
Aku, begitu pula
Kali ini,
Mengapa ia begitu salah?
Sampai kita tak mau mengalah
Kita memojokkan resah
Selalu ingin menghapus gelisah
Lalu apa yang salah dengan kita?
Jumat, 20 Maret 2015
Aku dan Dia Melawan Dunia
Aku dan dia melawan dunia
Saling melawan dunia
Bukan aku dan dia saling membantu
Tapi aku dan dia saling membunuh
Aku membunuh dunianya
Begitu pula ia
Tak searah
Tak sejalan
Kami sering terluka
Oleh kami berdua
Tapi kami tak tau cara untuk berhenti
Seperti yang cara itu telah mati
Saling melawan dunia
Bukan aku dan dia saling membantu
Tapi aku dan dia saling membunuh
Aku membunuh dunianya
Begitu pula ia
Tak searah
Tak sejalan
Kami sering terluka
Oleh kami berdua
Tapi kami tak tau cara untuk berhenti
Seperti yang cara itu telah mati
Selasa, 17 Maret 2015
Karma
Aku jijik baca bahasa "karma". Apalagi banyak disalahgunakan oleh remaja masa kini. Dimana karma adalah cara yang digunakan untuk pembalasan dendam. Padahal pengertian karma, pemahamannya, saya pikirtidak sedangkal itu. Tidak hanya mengenai ribuan hubungan remaja masa kini yang kebanyakan, dan saya yakin bahkan sangat banyak, karma hanya untuk digunakan untuk hubungan pendek yang tidak jelas nantinya. Karma ada di pemahaman agama Budha. Dimana setiap perbuatan yang kita lakukan pasti ada balasan. Sama seperti di Islam, kita mendapat ganjaran untuk di setiap perbuatan. Juga dalam pribahasa Indonesia, siapa yang menabur angin akan menuai badai. Karma disini, justru harusnya lebih dianggap untuk bagaimana kalian melakukan kebaikan. Bagaimana kalian berperilaku baik pada orang atau sebaliknya. Bukan untuk hubungan kalian, dan tentang balas dendam kalian itu. Sekali lagi, karma tidak sedangkal itu. Jika kalian benar cinta sama dia, entah siapa dia-nya itu. Kalian tidak akan mengharapkan karma (yang lebih sering kalian artikan buruk) untuk dia. Melainkan kalian harusnya mendoakan kebaikan untuk dia. Dia yang kalian kasihi. Bukan mengharapkan karma. Jika kalian begitu mengharapkan karma untuk dia, saya yakin, kalian tidak sesayang iyu kepadanya. Entah kalian yang mulai menyayangi ke arah yang salah.
Minggu, 15 Maret 2015
Batasan
Banyak batasan tumbuh tanpa aku sadari
Tanpa aku lihat
Tapi kemudian mulai terasa
Dari yang hanya hal kecil yang dibesar-besarkan
Hal besar yang dianggap kecil
Aku merasa,
Semakin banyak aku mentolerir hal
Semakin aku menganggap hal bodoh itu wajar
Hidup hedonis tanpa teladan
Semua sepadan
Aku berjalan jauh ke arah yang salah
Walaupun aku lihat masih
Banyak yang lebih jauh di depan sana
Aku menoleh ke belakang
Melihat temanku yang bisa membatasi diri
Dengan banyak goncangan di sekitarnya
Lalu kenapa aku selalu
Ingin mematahkan semua batasan itu?
*Sempat hilang beberapa baris terakhir😹
Gara-gara handphonenya sempat ngehang.
Padahal aku rasa yang dibuat pertama itu
kata-katanya lebih mateng. Biarlah.*
Tanpa aku lihat
Tapi kemudian mulai terasa
Dari yang hanya hal kecil yang dibesar-besarkan
Hal besar yang dianggap kecil
Aku merasa,
Semakin banyak aku mentolerir hal
Semakin aku menganggap hal bodoh itu wajar
Hidup hedonis tanpa teladan
Semua sepadan
Aku berjalan jauh ke arah yang salah
Walaupun aku lihat masih
Banyak yang lebih jauh di depan sana
Aku menoleh ke belakang
Melihat temanku yang bisa membatasi diri
Dengan banyak goncangan di sekitarnya
Lalu kenapa aku selalu
Ingin mematahkan semua batasan itu?
*Sempat hilang beberapa baris terakhir😹
Gara-gara handphonenya sempat ngehang.
Padahal aku rasa yang dibuat pertama itu
kata-katanya lebih mateng. Biarlah.*
Senin, 02 Maret 2015
Serius
Serius
Aku bergetar
Hatiku gentar
Melihat dunia kian terbakar
Cukupkah kita bersabar?
Melihat anak menuntut malaikat sendiri
Berlomba-lomba mereka mencari materi
Menjebloskan beliau ke dalam jeruji
Mereka tak peduli tentang baya
Yang penting aku kaya
Mangga satu pun aku takan bebaskan ia
Apalagi tanah yang beberapa depa
Tentang dia yang mengasuhpun ku lupa
Seperti itu nurani kalian berbicara
Apalagi yang harus aku baca
Ketika berita tentang itu sudah merajalela
Untuk bumi ini, apakah kalian rela?
Aku bergetar
Hatiku gentar
Melihat dunia kian terbakar
Cukupkah kita bersabar?
Melihat anak menuntut malaikat sendiri
Berlomba-lomba mereka mencari materi
Menjebloskan beliau ke dalam jeruji
Mereka tak peduli tentang baya
Yang penting aku kaya
Mangga satu pun aku takan bebaskan ia
Apalagi tanah yang beberapa depa
Tentang dia yang mengasuhpun ku lupa
Seperti itu nurani kalian berbicara
Apalagi yang harus aku baca
Ketika berita tentang itu sudah merajalela
Untuk bumi ini, apakah kalian rela?
Sabtu, 31 Januari 2015
Ruang Beku
Aku terpaku sepi
Hanya menunduk yang aku tau
Rambutku berantakan
Bagai sapu yang termakan debu
Aku hanya diam disini
Menggeluti gelapnya ruangan
Dengan rantai yang terikat
Tangisanku takan berarti
Selalu kalah oleh hujan
Seakan ia menutup lekat
Hanya menunduk yang aku tau
Rambutku berantakan
Bagai sapu yang termakan debu
Aku hanya diam disini
Menggeluti gelapnya ruangan
Dengan rantai yang terikat
Tangisanku takan berarti
Selalu kalah oleh hujan
Seakan ia menutup lekat
Selasa, 20 Januari 2015
Serius
Serius
Aku bergetar
Hatiku gentar
Melihat dunia kian terbakar
Cukupkah kita bersabar?
Melihat anak menuntut malaikat sendiri
Berlomba-lomba mereka mencari materi
Menjebloskan beliau ke dalam jeruji
Mereka tak peduli tentang baya
Yang penting aku kaya
Mangga satu pun aku takan bebaskan ia
Apalagi tanah yang beberapa depa
Tentang dia yang mengasuhpun ku lupa
Seperti itu nurani kalian berbicara
Apalagi yang harus aku baca
Ketika berita tentang itu sudah merajalela
Untuk bumi ini, apakah kalian rela?
Aku bergetar
Hatiku gentar
Melihat dunia kian terbakar
Cukupkah kita bersabar?
Melihat anak menuntut malaikat sendiri
Berlomba-lomba mereka mencari materi
Menjebloskan beliau ke dalam jeruji
Mereka tak peduli tentang baya
Yang penting aku kaya
Mangga satu pun aku takan bebaskan ia
Apalagi tanah yang beberapa depa
Tentang dia yang mengasuhpun ku lupa
Seperti itu nurani kalian berbicara
Apalagi yang harus aku baca
Ketika berita tentang itu sudah merajalela
Untuk bumi ini, apakah kalian rela?
Senin, 19 Januari 2015
Makna Kata
Jutaan huruf apa yang telah diketik
Entah sampai benar jadi
Atau sempat terhapus lagi
Ribuan kata apa yang sempat terpikir
Tetapi dirombak lagi
Ratusan kalimat apa
Yang sempat lewat dalam lintas imaji
Tapi kau abaikan dan buat yang baru
Karena kita biasa mengabaikan
Karena kita biasa tidak mengacuhkan
Tetapi apalah arti kata
Yang sayangnya
Kita pun tidak tau
Apa kata yang lebih dalam dari maaf?
Entah sampai benar jadi
Atau sempat terhapus lagi
Ribuan kata apa yang sempat terpikir
Tetapi dirombak lagi
Ratusan kalimat apa
Yang sempat lewat dalam lintas imaji
Tapi kau abaikan dan buat yang baru
Karena kita biasa mengabaikan
Karena kita biasa tidak mengacuhkan
Tetapi apalah arti kata
Yang sayangnya
Kita pun tidak tau
Apa kata yang lebih dalam dari maaf?
Jatuh
Ada yang jatuh
Di bintang jatuh
Ada yang habis
Saat terkikis
Hampir semua
Satu
Karena waktu
Rasa bagaikan komet
Lama-lama Terkikis habis
Oleh gravitasi
Dan semua tetap
Menyalahkan waktu
Cepat lambat
Tetap
Alasannya satu
Waktu
Di bintang jatuh
Ada yang habis
Saat terkikis
Hampir semua
Satu
Karena waktu
Rasa bagaikan komet
Lama-lama Terkikis habis
Oleh gravitasi
Dan semua tetap
Menyalahkan waktu
Cepat lambat
Tetap
Alasannya satu
Waktu
Sabtu, 03 Januari 2015
Benci
Ada rasa benci yang mengatur
Membangun
Mewabah
Menjamak
Membunuh
Satu kata usang yang sering terdengar
Dan aku adalah rasa itu
Aku adalah seribu benci
Aku terlihat seperti angin
Tak dilihat walau realita
Aku tak diinginkan
Bahkan mereka berteriak untuk dihapus
Tapi sudah kubilang
Benci itu mewabah
Benci itu membangun
Aku merekah lalu bangun
Aku menjamak lalu membunuh
Dia yang tak suka aku
Dia yang berteriak padaku
Dia yang ingin menikamku
Selamat tinggal
Dari aku
Sang Bencimu
Membangun
Mewabah
Menjamak
Membunuh
Satu kata usang yang sering terdengar
Dan aku adalah rasa itu
Aku adalah seribu benci
Aku terlihat seperti angin
Tak dilihat walau realita
Aku tak diinginkan
Bahkan mereka berteriak untuk dihapus
Tapi sudah kubilang
Benci itu mewabah
Benci itu membangun
Aku merekah lalu bangun
Aku menjamak lalu membunuh
Dia yang tak suka aku
Dia yang berteriak padaku
Dia yang ingin menikamku
Selamat tinggal
Dari aku
Sang Bencimu
Langganan:
Postingan (Atom)